TARMIDI MENGIGAU
“Satu-satunya cara agar kita memperoleh kasih sayang, ialah jangan menuntut agar kita dicintai, tetapi mulailah memberi kasih sayang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan” (Dale Carnagie)
Tarmidi berujar “sampai kapankah aku kan bertahan?, bila keadaan telah mentelikungku” sedangkan waktu mulai pudar diregut masa yang menenggelamkan cita-cita Tarmidi, haruskah ia berdzikir terus sampai keajaiban datang menyapanya ataukah ia harus tersingkir oleh jaman yang tak menuntut Tarmidi untuk berbuat sesuatu untuk hidup, paling tidak ia paham untuk apa ia hidup, tetapi itu semua adalah target diantara tujuan dan motivasi yang gagal. Tarmidi berjalan menghitung prestasi dan umur yang kian mematang sampai membusuk. Ia menyadari betapa sedikit dan cepatnya waktu yang di jatah untuknya. Tarmidi memutar waktu keputaran masa lalu dan menelusuri dimensi ruang dan waktu yang lalu. Ya, inikah akhir dari segala-galanya harapan yang aku susun, aku dambakan akankah datang? Apakah tetap terwujud seperti cerita-cerita masa lalu?. Seseorang yang sukses menundukan hidup meski pada akhirnya mereka harus juga kalah dan tunduk pada kematian. Kerinduan Tramidi pada Ken arok, Sutowijoyo, Airlangga, Samaratungga, Sukarno, Tan Malaka. Untuk menghirup kembali nafas perjuangannya menuju proses Tarmidi, akan tetapi cerita dan alur yang dimasuki Tarmidi sangat menyimpang jauh dari program kesuksesan yang sudah digariskan Eyang Guru (ia sudah menyalahi pakem yang ditetapkan).
“ini nggak adil..ini telah melecehkan hak seseorang, disamping itu aku ingin menciptakan sesuatu yang dapat aku banggakan.” Tarmidi protes pada Eyang, tapi Beliau juga tak mau kalah… Eyang mencoba sesuatu yang dapat digunakan untuk menerangkan Tarmidi bukan meringankan beban atau menggeser rintangan
“Ngger…karena kau telah tenggelam pada keinginan yang berlebihan, membuat mata hatimu silau tak mampu meraba dan merasa di siang hari, untuk apa nyalakan pelita kalau kau tlah meremehkan kehadiran matahari….Eyang tidak akan memberikan apa-apa padamu cukup ucapan Selamat memaki hidup… teruslah berjuang memaki hidup”
Semarang, 25 Maret 93
“Satu-satunya cara agar kita memperoleh kasih sayang, ialah jangan menuntut agar kita dicintai, tetapi mulailah memberi kasih sayang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan” (Dale Carnagie)
Tarmidi berujar “sampai kapankah aku kan bertahan?, bila keadaan telah mentelikungku” sedangkan waktu mulai pudar diregut masa yang menenggelamkan cita-cita Tarmidi, haruskah ia berdzikir terus sampai keajaiban datang menyapanya ataukah ia harus tersingkir oleh jaman yang tak menuntut Tarmidi untuk berbuat sesuatu untuk hidup, paling tidak ia paham untuk apa ia hidup, tetapi itu semua adalah target diantara tujuan dan motivasi yang gagal. Tarmidi berjalan menghitung prestasi dan umur yang kian mematang sampai membusuk. Ia menyadari betapa sedikit dan cepatnya waktu yang di jatah untuknya. Tarmidi memutar waktu keputaran masa lalu dan menelusuri dimensi ruang dan waktu yang lalu. Ya, inikah akhir dari segala-galanya harapan yang aku susun, aku dambakan akankah datang? Apakah tetap terwujud seperti cerita-cerita masa lalu?. Seseorang yang sukses menundukan hidup meski pada akhirnya mereka harus juga kalah dan tunduk pada kematian. Kerinduan Tramidi pada Ken arok, Sutowijoyo, Airlangga, Samaratungga, Sukarno, Tan Malaka. Untuk menghirup kembali nafas perjuangannya menuju proses Tarmidi, akan tetapi cerita dan alur yang dimasuki Tarmidi sangat menyimpang jauh dari program kesuksesan yang sudah digariskan Eyang Guru (ia sudah menyalahi pakem yang ditetapkan).
“ini nggak adil..ini telah melecehkan hak seseorang, disamping itu aku ingin menciptakan sesuatu yang dapat aku banggakan.” Tarmidi protes pada Eyang, tapi Beliau juga tak mau kalah… Eyang mencoba sesuatu yang dapat digunakan untuk menerangkan Tarmidi bukan meringankan beban atau menggeser rintangan
“Ngger…karena kau telah tenggelam pada keinginan yang berlebihan, membuat mata hatimu silau tak mampu meraba dan merasa di siang hari, untuk apa nyalakan pelita kalau kau tlah meremehkan kehadiran matahari….Eyang tidak akan memberikan apa-apa padamu cukup ucapan Selamat memaki hidup… teruslah berjuang memaki hidup”
Semarang, 25 Maret 93
- Afif Asmara menyukai ini.
- Arie Aryant *nie bagian yg q suka ...
“Ngger…karena kau telah tenggelam pada keinginan yang berlebihan, membuat mata hatimu silau tak mampu meraba dan merasa di siang hari, untuk apa nyalakan pelita kalau kau tlah meremehkan kehadiran matahari…"04 Mei 2010 jam 11:20 ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar