Senin, 25 April 2011

MUSIK & PENGUASA Sebuah Catatan : Kontroversi dari Indonesia Raya, Genjer-genjer Hingga Takdir By Aloeth Pathi


              Musik adalah dahaga jiwa menurut Khalil Gibran. Nada-nada yang mengalun disamping syair-syairnya mengingat kenangan masa silam tentang kesedihan atau keindahan, keriangan masa lalu. Musik bisa membawa nuansa perenungan (kontemplatif). Perkembangan musik Indonesia telah mengalami pasang-surut. Musik Tradisional, Melayu, Pop, Dangdut, Rock, Keroncong, jazz dan genre lainnya. Musik juga mengalami proses penerimaan atau ditolak di masyarakat (Like and dislike). Sehingga memunculkan banyak pandangan mengenai musik golongan orang tua - golongan muda.[1] Musik merakyat dan tidak merakyat. Pendukung program-program pemerintah atau lagu agitatoris yang melakukan perlawanan terhadap penguasa. Musik mampu membakar semangat untuk beraktifitas dan berkarya. Musik juga bisa melemahkan semangat untuk bersikap apatis, lemah, cengeng. Atau musik itu pun berlalu begitu saja, tak membekas apa pun di benak pendengarnya.

Pada Era Pra kemerdekaan Musik Indonesia, syair-syairnya memiliki tema yang membawa semangat Heroik, Romantisme Perjuangan, kecintaan pada negeri (Nasionalisme). Pada Konggres Pemuda ke II tgl 28 Oktober 1928 WR. Supratman memainkan biola membawakan lagu “Indonesia Raya”. lagu itu diterima semua peserta konggres dan dijadikan sebagai lagu pergerakan. Lagu tersebut mengalami proses penyempurnaan syairnya pada tahun 1944, ketika dibentuk Panitia 12 membahas lagu kebangsaan yang diketuai Ir. Sukarno karena penciptanya meninggal lebih dahulu. Salah satunya penggantian kata mulia-mulia di ganti dengan kata merdeka-merdeka. Lagu ini menjadi kebanggaan serta identitas sebuah negeri yang harus dibela hingga jiwa raga bangsa Indonesia. Semangat yang dikobarkan dari Lagu ini juga mengantarkan bangsa Indonesia menuju pintu kemerdekaan dan diakui keberadaannya di dunia internasional.[2]

Lagu berirama Bravura atau yang bernuansa lembut patriotik. Lagu-lagu tema perjuangan selama revolusi sangat besar sekali dalam mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Lagu-lagu tersebut memberi kekuatan/sugesti para pejuang untuk mengorbankan perlawanan terhadap penjajahan. Dengan bergeloranya gerakan-gerakan kemerdekaan makin jelas cita-cita untuk menuju suatu corak kebangsaan dalam seni Musik Indonesia. Lagu “Indonesia Merdeka” karya C. Simanjutak pernah didengarkan oleh pemuda-pemuda Indonesia di Praha karena dapat membangkitkan semangat persatuan dan perjuangan. Sedangkan lagu “Halo-halo Bandung” karya Ismail Marzuki sangat mengobarkan perjuangan pemuda-pemuda Bandung untuk melawan Pasukan NICA (Netherlans Indies Civil Adminitrastion). Dalam revolusi para seniman mendapat ilham dari peristiwa-peristiwa yang terjadi tetapi juga sebaliknya lagu-lagu tersebut dapat menciptakan peristiwa-peristiwa besar dan menciptakan mental gagah berani. Lagu-lagu perjuangan seperti “ Maju Tak Gentar”, “Bagimu Negeri” pernah dipakai para aktivis dan mahasiswa dalam mengobarkan aksi - aksi demontrasi menentang penyelewengan kebijakan pemerintah. Demikian juga lagu mampu membuat haru biru perjuangan seperti lagu “ Syukur”, “gugur bunga”.[3]

Kekuatan syair musik mampu membuat pemerintah/penguasa keder, Pemerintah Jepang dengan Sendebui (Badan Propaganda Jepang) juga bereaksi keras terhadap lagu “Bisikan Tanah Air” dan “Indonesia Tanah Pusaka” karya Ismail Marzuki yang dianggap menimbulkan pergerakan Rakyat melawan Jepang di daerah-daerah. Sehingga ia dipanggil Konpetai (Polisi Militer Jepang). Pada Agresi Belanda I (class I ) Belanda melarang Lagu “Di Timur Matahari” karya Ibu Sud yang dianggap pro Jepang.[4] Pada saat itu banyak seniman-seniman musik yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho.

Di Jaman Sukarno musik harus sesuai dengan kepribadian Bangsa. Konsepsi Bung Karno mendapat dukungan dari seniman-seniman yang tergabung dalam lembaga kebudayaan seperti Lekra, Lesbi, LKN. Untuk membentuk kepribadian bangsa Indonesia Presiden mengeluarkan pokok-pokok MANIPOL USDEK.[5] Musik barat dianggap sudah tidak sesuai kepribadian bangsa. pemerintah melarang mendengarkan musik barat seperti Beatles, Elvis Presley. Sehingga laju perkembangan musik barat harus dihambat. Koes Bersaudara menjadi penghuni prodeo karena membawakan lagu-lagu Ngak-ngik-ngok. Mereka dituduh melanggar Penpres no. 11 tahun 1963. peraturan tersebut membelenggu proses kebebasan berkreasi.

Ketika era Orde Baru proses kebebasan bermusik masih tersendat-tersendat. Tema Lagu-lagu harus mendukung kebijakan pemerintah. Hal ini mengingat Bangsa Indonesia memasuki trace baru ( Pasca PKI dibubarkan). Banyak penyanyi tergabung dalam Artis Safari (Artis Golkar) pimpinan Edi Sud. Para artis tersebut selalu menyertai pejabat-pejabat dalam kunjungan ke daerah-daerah. Kepribadian Bangsa masih menjadi soko utama dalam proses berkreasi seniman. Pemerintah melarang syair2 musik yang pernah dibawakan LEKRA seperti “Ganyang Setan Tiga Kota” karya Subronto K. Atmojo (1965) “Genjer-genjer” karya M Arif.[6] Pemerintah Orde Baru menjadikan lagu tersebut seperti lagu yang menakutkan dan mengingatkan pada kekejaman PKI. Setiap tgl 30 September TVRI menayangkan Film G 30 S/ PKI. Yang menampilkan para Pemuda Rakyat dan Gerwani menari-nari, serta menyanyi “Genjer-Genjer” di Lubang Buaya dalam melaksanakan tugasnya, membunuh para Jendral. Namun tidak semua karya Lekra dibrangus dan tidak boleh berkumandang di persada pertiwi seperti lagu “Garuda Pancasila” karya Sudharnoto masih terus digunakan sampai sekarang meski penciptanya terlibat Lekra.[7]

Pemerintah dengan program Repelita masih menerapkan musik yang berkepribadian dengan menggali potensi budaya sendiri. Tindakan represif yang pernah dilakukan Orla juga diterapkan pada Jaman Orba, tindakan ini ditujukan Terhadap kaum muda Peniruan (imitatif) Trend mode pakaian cut brey, rambut gondrong, serta aksesoris-aksesoris yang dipakai bintang idolanya. Tindakan pemerintah yang “over acting” tersebut terjadi di mana-mana terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan. Puncaknya tindakan tersebut terjadi di Bandung dengan terbunuhnya mahasiswa ITB Rene Louis Coenrad oleh taruna kepolisian.

Perijinan, konser-konser musik di tanah air masih extra hati-hati. Pelarangan Musik Ngak-ngik-ngok pada jaman Orba juga masih berlangsung. Pada tahun 1978 Menteri P & K menganggap musik tersebut sebagai musik tikus. Selain itu konser-konser yang melanggar kaidah ketimuran dipersulit perijinannya. Seperti Group AKA band yang selalu menggunakan tata panggung yang mengerikan. Zombie, tiang gantungan, nisan, gerakan bersenggama, Bahkan Ucok Harahap menyeret peti mati ditengah panggung, menggelantung bagai kelelawar, mencorat-coret mukanya (seperti KISS Band). Semua itu dianggap jauh dari adat ketimuran oleh pemerintah.

Pencekalan pagelaran musik juga terjadi di era 80-an. Oleh pemeritahan daerah maupun pusat. Karena pengaruh barat terutama mode, trend, gaya hidup terhadap generasi muda. Ketakutan pemerintah terutama pengaruh alkohol, free sex, hippies yang dianut dari pemusik-pemusik barat. Di samping itu pagelaran musik yang dianggap mampu merongrong kewibawaan pemerintah dipersulit perijinannya seperti konser Iwan Fals yang lagunya sarat akan kritik terhadap pemerintah. Konser Iwan dengan Katanta Taqwa di Stadion Senayan (sekarang stadion Gelora Bung Karno) dianggap konser yang paling rusuh pada saat itu. meski dalam perkembangan berikutnya konser group band seperti Slank, Sheila on 7, Ungu yang juga banyak memakan korban jiwa. Rhoma Irama mengalami nasib yang sama ketika ia dicekal di TVRI karena ia tak mau bergabung dengan kelompok Artis Safari, Rhoma lebih memilih menjadi anggota salah satu partai non pemerintah. Disamping itu salah satu album Rhoma berisi kritikan terhadap pemerintah.

Tak kalah uniknya ketika nasib sial yang dialami Betharia Sonata ketika menyanyikan lagu “Hati Yang Luka” Karya Obbie Mesakh. Lagu tema kesedihan, ratapan, keluhan ini yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Albumnya laris hingga mencapai 2 juta copy. Kepopuleran lagu ini menimbulkan reaksi hebat dari pengamat musik maupun pihak pemerintah, sebagai karya musik cengeng. Menteri Penerangan Harmoko menghimbau TVRI dan Radio untuk tidak menayangkan lagu cengeng, dengan alasan melemahkan semangat generasi muda yang sedang giat-giatnya membangun menuju era tinggal landas. Sikap pemerintah terhadap pelarangan lagu cengeng setengah hati. Di satu sisi lagu bertema kesedihan adalah lagu cengeng (meracuni generasi dengan suatu kesedihan dan penyesalan) sedangkan disisi lain masyarakat sangat suka akan lagu-lagu bertema cengeng tersebut.

Dipenghujung tahun 90-an Desy Ratnasari juga tersandung pelarangan. Kali ini dari pihak ketua MUI, Prof. Dr. Ali Yafie yang menganggap lagu “Takdir” karya Chossy pratama melecehkan agama Islam. Lirik lagu yang dianggap melecehkan “Takdir memang kejam/ tak mengenal perasaan”. Menurut Ali Yafie syair tersebut harus diluruskan. Pada tahun 1982 pemerintah melarang Lilis Suryani menyanyikan lagu “Cai Kopi” karya Mus. K Wirya yang dianggap melukai kaum muslim karena meniru syair Islam. Namun kasus ini tidak mencuat seheboh Desy Ratnasari. Karena pemberitaan entertaiment di media cetak dan elektronik pada saat itu belum marak. Setelah Desy dan Chossy minta maaf kepada masyarakat dan segera merevisi syair tersebut, yang juga merupakan theme song sinetron “Takdir”. Persoalan lagu tersebut dianggap selesai. Sebelumnya pihak pemerintah mencekal album Atiek CB dan memerintahkan produsernya untuk menarik kembali album Atiek CB, karena covernya mengundang kontroversi, ada simbol “Palu-Arit”.

Musik juga menciptakan fanatisme sehingga melahirkan kelompok, komunitas seperti yang pernah terjadi di Eropa pada tahun 60-an. Mereka disebut “Generation Flowers”. kemudian melahirkan kelompok2 anti kemapanan. Melahirkan mode, trend musik dan menciptakan genre musik. Di Indonesia budaya imitatif terhadap budaya tersebut sudah jaman Orla namun baru terdiri individu-individu belum menjadi sebuah kelompok. Baru era 90-an akhir hingga sekarang kelompok itu terbentuk di mana-mana terutama di kota- kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogya, Medan dan kota-kota lainnya. Bahkan sekarang masuk di kota-kota kabupaten. Mereka menamakan dirinya kelompok-kelompok marginal. Kemunculan Punk, Underground, Skinhead, Reggea (Bob Marley Maniac) disertai mode fashion, rambut dan aksesoris-aksesoris yang menyertainya. Juga ada kelompok yang terdiri dari fans-fans band terkenal negeri ini seperti Slanker- Slank, Baladewa-Dewa 19, Oi- Iwan fals, Sobat-Padi dsb.

Lagu-lagu mampu membangunkan hati, membangkitkan semangat, keriangan, juga mampu membuat haru terkadang sampai menyayat hati. Sikap pemerintah era Reformasi bersikap toleran terhadap perkembangan musik Indonesia dengan segala pernik-perniknya. Bahkan para pemimpin mulai bersenandung seperti Wiranto, Gus Dur. Bahkan ketika pada Pemilu tahun 2004 para kadidat presiden unjuk kebolehan dalam tarik suara. Hal ini merupakan angin segar bagi perkembangan musik Indonesia. Lagu menjadi kian akrab ditelinga kita berbagai jenis aliran musik. Baik dari desa sampai kota, golongan atas-golongan bawah, rakyat, pekerja, pengusaha, penguasa. Presiden pun bernyanyi ketika negeri ini dilanda musibah nasional

“ kita mesti telanjang

dan benar-benar bersih

suci lahir dan di dalam batin”

*Aloeth

Lingkar Studi Waroeng Kopie

[1] Kalangan orang tua ada yang menganggap bahwa penyanyi/biduan dianggap sebagai aib, sehingga itu dianggap pekerjaan yang tidak baik /nista. Sebagian ulama juga ada yang mengganggap bahwa musik itu haram.

[2] Pada jaman Orde Baru Elyas Pical (petinju), Susi Santi, Alan Budi Kusumo serta atlit bulu tangkis berikutnya, pernah menyanyikan lagu “Indonesia Raya” setelah memenangkan beberapa pertandingan di event-event internasional. Mereka menyanyikan lagu tersebut dengan sepenuh jiwa raga hingga air mata menetes karena haru. Mungkin ini juga dirasakan seluruh Bangsa Indonesia yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut sebagai suatu kebanggaan.

[3] Lagu “gugur Bunga” dinyanyikan disaat mengantar kepergian 10 jendral (pahlawan Revolusi) , Arif Rahman Hakim dan mahasiswa angkatan 66 maupun mahasiswa-mahasiswa yang telah gugur pada Peristiwa Mei 98.

[4] Lagu ini di era Reformasi sering dinyanyikan Amien Rais dalam meresmikan PAN selain lagu “Ibu Pertiwi” yang sering dinyanyikan ketika ia menghadiri di pertemuan di kota maupun dipelosok pedesaan.

[5] Manifesto Politik merupakan Pidato Presiden tgl 17 Agustus 1959. kemudian dikuatkan dengan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1964 “ Tahun Vivere Pericoloso” (Tavip) yaitu melawan budaya barat dan memenangkan revolusi.

[6] Lagu ini merupakan lagu rakyat yang popular dan mempunyai kekuatan magis di Banyuwangi karya M. Arif anggota DPRD fraksi PKI.

[7] Menurut Henry Setyawan dalam bukunya “di Buru di Pulau Buru”
· · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar