PAK TUA dan STICK GOLF
Temaram lampu teplok dari gubug reot
Menjadi saksi tangis
Menjadi saksi teriakan histeris
Menjadi saksi suara-suara sumbang yang tak beraturan
Tendangan sepatu aparat mengenai ulu hati
Pukulan pak camat membirukan mata kiri
Tamparan muspika membuat dua gigi rontok
“kamu PKI ya?”
“kamu Subversif !”
“kamu anti pembangunan ?”
Masih terngiang menendang gendang telinga
Segenggam tembakau dari puluhan putung rokok
Lintingan tersulut
Mengepul asap dari mulutnya
Menatap foto tua dan bintang jasa sisa revolusi
***
kenangan terlintas
padi menguning siap di panen
istri setia menunggu digubug
membawa kendi dan bakul nasi
dua anaknya berlari-lari dipematang
menirukan burung alap-alap
melayang dilangit biru
****
Demi pembangunan atas negeri ini
ia rela menjadi badut
mempropagandakan kemakmuran
adil dan merata
stick golf gantikan cangkul
terseok-seok memukul bola
terkapar ia ditanah
nafasnya hampir putus
dari mulutnya keluar dua bola putih
Smg, Agustus 1994
DIKALA DATANG SENJA
Sapu tangan sekat air mengalir di ujung matamu
Rambut memutih
Kerut dahi gambar dari perjalanan
Kian lama kian pasrah
Adakah damai jiwa
Bila sekitarmu tlah mati warna
Kabur
Memudar
Tak usah lagi kau tanya?
Dalam hati yang terdalam
Ayat-ayat Tuhan mengukir dengan indah
Sanggupkah kau redam gemuruh
Derap dibalik pintu
Petikan gitar senandung nestapa
Skj, 30 Mei 1996
KUSUT I
Menyambut musim yang tak lagi pada tempatnya
Meski air mata telah menghapus sebagian debu
Di wajah-wajah mereka
Lesu
Kusut
Yang menceritakan romantisme
Terkadang pikiran-pikiran picik mengumpul
Membuat gumpalan-gumpalan
Yang sangat keras
Sulit untuk dilunakkan
Semakin keras dan kuat
Hingga mendobrak nilai-nilai luhur
Yang pernah terpatri di nurani
Kudus, April 94
NASIB MEREKA YANG TERBUANG
Antar cerita di saku mereka
Tentang apa yang patut mereka tentang
Tertindih karpet Lusuh
Berbau angkuh
Teriak batin ungkapkan rasa penyesalan mereka
Kuras semua pikiran mereka
Lepas semua penderitaan mereka
Ternyata pahit masih lekat pada mereka
Dan..
Ternyata semua telah mati
Karena ketidak tahuan mereka
Mei,1996
KUSUT II
Tumbuh kembang bakung menghias sudut ruang senja itu
terbaring tubuhmu luluhkan batin di keheningan waktu
terlepas benih iba saat menatap garis-garis diwajahmu
tergores pahit luka masa lalu
langkahmu pelan tak setegar dahulu
kini hanya namamu dan sepotong dongeng
dari hari-hari lalumu
***
Bintangmu terasa berat membawa beban hidup
Terbelenggu dalam diam
Tenggelam bersama tumbuhnya tunas baru
Kematian adalah pembebasan
Dimana lingkaran itu mulai pecah?
Entahlah?
Semarang, 22 November 1994
SERDADU TUA
Serdadu tua bungkuk
menerawang langit
Seperti mata panah
Meluncur lembaran-lembaran usang
Ikrar penuhi ruangan kenduri
Pesta anak negeri pertanyakan
Kemerdekaan dibangunkan
untuk kedua kalinya
dari belenggu mimpi menyesatkan
Sebotol arak menepis dahaga
Tawa genit pelacur menempel dibenak
***
Serdadu tua bungkuk
Kepalkan tangan ke atas
Hirup sisa nafas keperkasaan
Kenangan tak meninggalkan kafan
Untuk dilukis kerabatnya
Menelusuri jejak-jejak kaki
Yang Terhapus air hujan
Cermin retak
Wajah Bopeng membuat batik
Catatan-catatan pengkhianatan
dari kegetiran nasib
***
Serdadu Tua menggelinding
Dari atas menuju lembah
Berputar menerjang ilalang
Melindas pohon hingga tumbang
Menghancurkan batu karang
Membelah gunung-gunung
Menguras samudra
Kini tlah lahir fiksi
Dari embrio hidup
Yang mereka puja
Sebagai hikayat ampuh sekelas mantra
Mereka lalai kebenaran
Yang kelak diwariskan
****
Serdadu tua berharap
menatap matahari di atas pelangi
ada cinta ditebarkan mendung
lewat rintik hujan
cinta berhembus dikolong jembatan
menemui anak kecil kelaparan
cinta menyapa aparat dengan bogem mentah
di muka maling kecil
cinta membelai hakim pincang
tersrimpung palu sendiri
cinta berbisik ditelinga ibu tua
“kamu tak secantik dulu”
cinta meniup di tempat pelacuran
bersama desah nakal
cinta masuk dipori-pori anak bangsa
kibarkan sang saka di langit biru
meski tlah kusam dan robek
ada cinta bersama kibasan-kibasanya.
10 November 1994
Temaram lampu teplok dari gubug reot
Menjadi saksi tangis
Menjadi saksi teriakan histeris
Menjadi saksi suara-suara sumbang yang tak beraturan
Tendangan sepatu aparat mengenai ulu hati
Pukulan pak camat membirukan mata kiri
Tamparan muspika membuat dua gigi rontok
“kamu PKI ya?”
“kamu Subversif !”
“kamu anti pembangunan ?”
Masih terngiang menendang gendang telinga
Segenggam tembakau dari puluhan putung rokok
Lintingan tersulut
Mengepul asap dari mulutnya
Menatap foto tua dan bintang jasa sisa revolusi
***
kenangan terlintas
padi menguning siap di panen
istri setia menunggu digubug
membawa kendi dan bakul nasi
dua anaknya berlari-lari dipematang
menirukan burung alap-alap
melayang dilangit biru
****
Demi pembangunan atas negeri ini
ia rela menjadi badut
mempropagandakan kemakmuran
adil dan merata
stick golf gantikan cangkul
terseok-seok memukul bola
terkapar ia ditanah
nafasnya hampir putus
dari mulutnya keluar dua bola putih
Smg, Agustus 1994
DIKALA DATANG SENJA
Sapu tangan sekat air mengalir di ujung matamu
Rambut memutih
Kerut dahi gambar dari perjalanan
Kian lama kian pasrah
Adakah damai jiwa
Bila sekitarmu tlah mati warna
Kabur
Memudar
Tak usah lagi kau tanya?
Dalam hati yang terdalam
Ayat-ayat Tuhan mengukir dengan indah
Sanggupkah kau redam gemuruh
Derap dibalik pintu
Petikan gitar senandung nestapa
Skj, 30 Mei 1996
KUSUT I
Menyambut musim yang tak lagi pada tempatnya
Meski air mata telah menghapus sebagian debu
Di wajah-wajah mereka
Lesu
Kusut
Yang menceritakan romantisme
Terkadang pikiran-pikiran picik mengumpul
Membuat gumpalan-gumpalan
Yang sangat keras
Sulit untuk dilunakkan
Semakin keras dan kuat
Hingga mendobrak nilai-nilai luhur
Yang pernah terpatri di nurani
Kudus, April 94
NASIB MEREKA YANG TERBUANG
Antar cerita di saku mereka
Tentang apa yang patut mereka tentang
Tertindih karpet Lusuh
Berbau angkuh
Teriak batin ungkapkan rasa penyesalan mereka
Kuras semua pikiran mereka
Lepas semua penderitaan mereka
Ternyata pahit masih lekat pada mereka
Dan..
Ternyata semua telah mati
Karena ketidak tahuan mereka
Mei,1996
KUSUT II
Tumbuh kembang bakung menghias sudut ruang senja itu
terbaring tubuhmu luluhkan batin di keheningan waktu
terlepas benih iba saat menatap garis-garis diwajahmu
tergores pahit luka masa lalu
langkahmu pelan tak setegar dahulu
kini hanya namamu dan sepotong dongeng
dari hari-hari lalumu
***
Bintangmu terasa berat membawa beban hidup
Terbelenggu dalam diam
Tenggelam bersama tumbuhnya tunas baru
Kematian adalah pembebasan
Dimana lingkaran itu mulai pecah?
Entahlah?
Semarang, 22 November 1994
SERDADU TUA
Serdadu tua bungkuk
menerawang langit
Seperti mata panah
Meluncur lembaran-lembaran usang
Ikrar penuhi ruangan kenduri
Pesta anak negeri pertanyakan
Kemerdekaan dibangunkan
untuk kedua kalinya
dari belenggu mimpi menyesatkan
Sebotol arak menepis dahaga
Tawa genit pelacur menempel dibenak
***
Serdadu tua bungkuk
Kepalkan tangan ke atas
Hirup sisa nafas keperkasaan
Kenangan tak meninggalkan kafan
Untuk dilukis kerabatnya
Menelusuri jejak-jejak kaki
Yang Terhapus air hujan
Cermin retak
Wajah Bopeng membuat batik
Catatan-catatan pengkhianatan
dari kegetiran nasib
***
Serdadu Tua menggelinding
Dari atas menuju lembah
Berputar menerjang ilalang
Melindas pohon hingga tumbang
Menghancurkan batu karang
Membelah gunung-gunung
Menguras samudra
Kini tlah lahir fiksi
Dari embrio hidup
Yang mereka puja
Sebagai hikayat ampuh sekelas mantra
Mereka lalai kebenaran
Yang kelak diwariskan
****
Serdadu tua berharap
menatap matahari di atas pelangi
ada cinta ditebarkan mendung
lewat rintik hujan
cinta berhembus dikolong jembatan
menemui anak kecil kelaparan
cinta menyapa aparat dengan bogem mentah
di muka maling kecil
cinta membelai hakim pincang
tersrimpung palu sendiri
cinta berbisik ditelinga ibu tua
“kamu tak secantik dulu”
cinta meniup di tempat pelacuran
bersama desah nakal
cinta masuk dipori-pori anak bangsa
kibarkan sang saka di langit biru
meski tlah kusam dan robek
ada cinta bersama kibasan-kibasanya.
10 November 1994
- Aant S. Kawisar kusut II, bait pertama, kiranya sudah cukup...apik, gak usah diteruskan dengan bait kedua, apalagi dengan tanda *** illustrasi foto-fotonya, kalau boleh tahu sumbernya, atau koleksi anda?04 Agustus 2009 jam 14:25 ·
- Aku Dan Puisiperjuangan itu melelahkan
kemerdekaan itu melelahkan
nasionalisme itu melelahkan
lalu apa gunanya berbangsa
apa pula gunanya bernegara
seperti tidak berjawab
mungkin..hanya untuk hidup bahagia
untuk semua rangkuman kertas usang
kisahmu membawa ingatan duka dan kelam
namun dari sana kita beranjak
mulai berdiri dan bersiap
tidak untuk mengulang masa lalu
tidak untuk menangisi masa kelabu
tidak untuk bertindak bodoh
berdiri dan bersiap
untuk pantang menjadi lelah.05 Agustus 2009 jam 21:54 · - Hanna Fransisca Senang dapat menemukan banyak sajak di sini. Btw... sajak lama ya Mas, yang umumnya karya di tahun 1994. Harusnya puisi yang kini(jika masih konsisten menulis puisi) pasti lebih dasyat lagi yo.05 September 2009 jam 8:28 ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar